Beranda | Artikel
Pengertian Khauf, Raja dan Mahabbah kepada Allah
Kamis, 14 Februari 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Haidar As-Sundawy

Pengertian Khauf, Raja’ dan Mahabbah kepada Allah merupakan rekaman ceramah agama dan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Haidar As-Sundawy dalam pembahasan Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad karya Syaikh Shalih Fauzan Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada 18 Jumadal Awwal 1440 H / 25 Januari 2019 M.

Status Program Kajian Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I`tiqad

Status program kajian Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I`tiqad: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Jum`at, pukul 16:30 - 18:00 WIB.

Download mp3 kajian sebelumnya: Jenis-Jenis Syirik Besar

Kajian Tentang Pengertian Khauf, Raja’ dan Mahabbah kepada Allah – Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad

Pertemuan yang lalu kita sudah berbicara tentang tiga jenis khauf. Syirik dibidang khauf;

Pertama, khauf (rasa takut) sirri (yang tersembunyi). Contohnya takut kepada berhala yang disembah oleh manusia. Kalau-kalau si berhala itu punya kekuatan, kemampuan, memberi mudzarat kepada kita kalau kita melarang orang menyembah mereka. Baik berhala itu patung, pohon, kuburan, arwah ruh yang sudah mati dan seterusnya. Jika ada rasa takut, maka itu khauf sirri dan itu syirik besar. Tidak boleh, itu sudah kita terangkan.

Kedua, rasa takut kepada orang yang menyebabkan kita terhalang melakukan kewajiban atau terdorong melakukan hal yang haram karena takutnya kepada orang. Ini juga haram, tapi tidak sampai kepada syirik besar. Syirik kecil tapi dengan dosa yang besar.

Ketiga, khauf tabi’i yang alami, rasa takut yang normal, yang manusiawi. Sebagai contoh takutnya kepada ular berbisa, kepada binatang buas, kepada listrik yang bila dipegang bisa nyetrum menyebabkan kematian, termasuk kepada orang jahat yang bisa menganiaya kita. Seperti takutnya Nabi Musa kepada Fir’aun dan tentaranya setelah membunuh. Seperti takutnya Nabi Ibrahim kepada tamu asing yang tak dikenal ketika disuguhi daging yang enak, yang lezat, ternyata tidak mau memakannya lalu curiga dan rasa takut muncul. Rasa takut tabi’i dialami juga oleh para Nabi, Maka itu tidak apa-apa.

Wajib Memiliki Rasa Takut kepada Allah

Rasa takut kita kepada Allah adalah wajib. Takut inilah yang menjadi bukti keimanan seseorang.

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Jangan kalian takut kepada mereka, takutlah kepada Allah kalau kalian orang Mukmin.” (QS. Ali-Imran[3]: 175)

Takutnya kepada Allah sampai membuat hati ini bergetar ketika nama Allah disebut. Itu rasa takut yang dimiliki seorang mukmin yang hakiki.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّـهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.” (QS. Al-Anfal[8]: 2)

Mananya takut. Bagaimana tidak? Allah itu Maha Pencemburu, Allah itu Maha Pembalas.

إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ ﴿٢٢﴾

Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As-Sajdah[32]: 22)

Dan sekali membalas dengan adzab yang luar biasa dahsyat.

أَنَّ اللَّـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah[5]: 98)

Khauf, Raja’ dan Mahabbah

Wajib memiliki rasa takut. Tapi takut ini wajib disertai dengan dua sifat lain. Kalau tidak disertai dengan dua sifat ini maka berbahaya. Apakah dua sifat lain yang harus disertakan selain takut? Yaitu raja’ (berharap) dan mahabbah (cinta).

Jadi tiga hal ini harus dimiliki secara bersamaan ketika beribadah kepada Allah. Khaufnya ada, mahabbahnya ada, raja’nya juga ada. Kumpulkan, padukan ketiga rasa itu ketika kita beribadah. Apapun ibadahnya.

Shalat umpamanya, khaufnya ada. Takut shalat kita ini ditolak oleh Allah, takut shalat ini tidak diterima, takut shalat ini malah mengundang adzab karena ada kekeliruan, kesalahan. Karena ada orang yang shalat tapi diancam dengan adzab.

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ ﴿٦﴾

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya,” (QS. Al-Ma’un[107]: 6)

Khawatir riya’ itu ada ketika kita shalat.

Raja’ (harapannya) ada. Berharap ampunan Allah dengan shalat ini. Berharap pahala dari Allah, keridhaan dari Allah. Cintanya juga ada, sehingga kita merasakan betah ketika dialog dengan Allah dalam shalat kita. Tiga-tiganya ini harus ada. Karena kalau hanya khauf tanpa raja’, dihawatirkan dia terjerumus kedalam sifat putus asa dari rahmat Allah, putus asa dari ampunan Allah, putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi wajib disertai adanya raja’.

Sebaliknya, jangan hanya raja’ tanpa khauf. Kalau hanya raja’ tanpa khauf, dia nanti merasa aman dari murka Allah, dari siksa Allah, dari makar Allah, walaupun banyak melakukan dosa. Kita akan merasa tenang karena walaupun dosa banyak, Allah Maha Pengampun dan kita menyangka pasti diampuni, kita pasti akan diselamatkan dari neraka, kita pasti akan ke surga. Itu akibatnya merasa aman dari makar Allah. Dua-duanya adalah dosa besar. Baik putus asa dari rahmat Allah ataupun merasa aman dari makar Allah, dua-duanya dosa besar.

Ditegur oleh Allah orang yang seperti demikian. Allah berfirman dalam surah al-A’raf ayat ke-99:

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّـهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّـهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ ﴿٩٩﴾

Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf[7]: 99)

Sebaliknya, putus asa juga dilarang. Sebesar apapun dosa kita, sebanyak apapun kesalahan kita, maka tidak boleh merasa putus asa dari rahmat Allah dari rahmat Allah, dari ampunan Allah, dari karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh putus asa. Allah berfirman:

إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّـهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

Sesungguhnya tidak ada yang putus asa dari rahmat Allah kecuali hanyalah orang-orang kafir.” (QS. Yusuf[12]: 87)

Dalam surah Al-Hijr ayat 56 Allah berfirman:

وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat” (QS. Al-Hijr[15]: 56)

Jadi dua hal tadi, putus asa dari rahmat Allah dan aman dari makar Allah merupakan dosa besar yang diingatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Sedangkan merasa aman dari makar Allah karena hanya memiliki raja’ tanpa khauf. Sebaliknya putus asa dari rahmat Allah karena lebih mengedepankan khauf dan tidak memiliki raja’ sama sekali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berkata Ismail bin Rafi’:

الأمْن مِن مكر الله إقامة العبد على الذنب يتمنَّى على الله المغفرة

“Diantara bukti seseorang merasa aman dari makar Allah adalah seorang hamba terus-menerus melakukan dosa tapi selalu berharap dapat ampunan dari Allah tanpa ikhtiar yang mengundang turunnya ampunan itu.”

Dosa terus, tapi tidak bertaubat. Dosa terus, tapi tidak istighfar, dosa terus tapi tidak berhenti dari dosanya. Tapi dia berharap diampuni oleh Allah tanpa ikhtiar dan usaha meraih ampun. Tentu ini tidak mungkin diampuni. Betul Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi ampunan dan kasih sayang Allah hanya Allah berikan kepada orang yang layak.

Kalau umpamanya yang taubat diampuni, yang tidak taubat juga diampuni tentu ini tidak adil. Berarti Allah menyamakan orang yang shalih dengan orang yang salah, berarti Allah menyamakan orang yang takwa dengan orang yang fajir, tentu ini tidak mungkin. Allah berfirman:

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ ﴿٣٥﴾

Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (QS. Al-Qalam[68]: 35)

Apakah akan disamakan? Tentu saja tidak. Allah turunkan ampunan kepada hambaNya kalau si hamba ada ikhtiar meraih ampunan itu dengan cara taubat, dengan cara banyak melakukan kebaikan-kebaikan.

Jadi kalau seseorang melakukan perbuata dosa terus namun tidak ada taubat, tidak ada istighfar, tidak ada amal ibadah, tapi dia yakin tentang Allah Maha Pengampun, dia salah paham terhadap sifat Allah. Betul Allah Maha Pengampun, tidak ampunan Allah tidak mungkin diberikan kepada orang yang tidak layak menerimanya.

Oleh karena itu diantara orang yang merasa aman dari makar Allah adalah terus-terusan berdosa tapi tetap berharap ampunan tanpa ikhtiar meraih ampunan tersebut. Jadi berdasarkan hal tadi, seorang mukmin tidak boleh beribadah kepada Allah hanya berbekal takut semata-mata lalu putus asa dari rahmat Allah. Tidak boleh berbekal raja’ semata-mata lalu merasa aman dari murka dan adzab Allah. Dua sifat ini wajib disandingkan. Ada khauf, ada raja’, ada harapan, ada rasa takut. Dan inilah yang Allah sebut dalam banyak ayatNya tentang karakter orang-orang Mukmin.

Diantaranya Allah berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat yang ke-90. Tentang orang-orang Mukmin calon penghuni surga:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ ﴿٩٠﴾

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya[21]: 90)

Simak penjelasannya pada menit ke – 16:37

Download dan Sebarkan mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Pengertian Khauf, Raja’ dan Mahabbah kepada Allah – Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46614-pengertian-khauf-raja-dan-mahabbah-kepada-allah/